Cerpen: Kesabaran Sang Pria
Cerpen tentang pelaut penyabar yang diuji tunangannya. Kisah haru dari kaki Gunung Lambelu oleh Rascita.com
![]() |
Di sebuah desa di kaki gunung Lambelu, hiduplah seorang pemuda yang berprofesi sebagai pelaut. Pemuda itu memiliki tunangan bernama Liza, seorang wanita keras kepala yang kadang membuat pemuda itu sampai stres dibuatnya.
“Liza! dapatkah kamu melihat dari sudut pandang yang lain?” kata pria itu, setiap kali mereka berdebat tentang sesuatu yang serius. Pemuda yang sabar dan berhati lembut itu bernama Ramir. Baginya Liza adalah seseorang yang baik hati lagi setia dan tak bisa tergantikan meskipun suka melawan, namun dia tetap menyanyanginya.
Hari-hari berlalu, dan tantangan hubungan mereka semakin terlihat. Suatu ketika, Liza menemukan riwayat chat Ramir dengan seorang wanita di akun Facebook. Awalnya ia mencoba berpikir positif, akan tetapi rasa cemburu yang ia simpan diam-diam mulai mengganggunya. Semakin lama, cemburu itu kian menyesakkan.
Waktu menunjukkan pukul 05.00 subuh, ponsel Ramir berdering. Ia mengira itu alarm, ternyata panggilan whatsapp dari Liza. “Halo,” jawab pria itu dengan suara yang berat karena kantuk. “Bang*at! Laki-laki brengsek kau!” teriak wanita itu dalam panggilan tersebut. “Ada apa sayang? Kenapa kamu memaki saya pagi-pagi buta begini?” berkata Ramir sambil menguap. “Coba lihat screenshot yang kukirim!” jawab Liza.
Melihat gambar yang dikirim, wajah pria yang mengantuk itu pun langsung terjaga karena melihat screenshot yang berisikan percakapan dia dengan wanita lain di Facebook.
“Dari mana kamu dapat ini?” tanya pria itu dengan penuh keheranan, karena percakapan tersebut telah lama ia hapus. “Jangankan riwayat chat, riwayat hidupmu pun bisa ku telusuri, bahkan untuk menghancurkannya pun bisa kulakukan dengan mudah! Pokoknya mulai pagi ini kita selesai dan kasus ini akan kuceritakan ke orang tuamu!" ancamnya kepada pria itu dan langsung mengakhiri panggilan Whatsapp begitu saja.
Konflik itu terjadi ketika Ramir sedang menjalani pendidikan kepelautan di Ibukota Jakarta. Namun hal tersebut tidak mengganggu konsentrasinya dalam menempuh pendidikan, melainkan menjadi penyemangat untuk bisa menyelesaikan sekolahnya dengan hasil yang terbaik, agar ia bisa pulang ke kampung halaman dan kemudian melamar kekasihnya itu.
Dengan perasaan penuh bersalah, Ramir kembali menghubungi Liza. “Liza, kamu kenapa? Apakah mengakhiri hubungan semudah mengedipkan mata?” tanya pria itu dengan suara yang tenang. “Aku hanya merasa kamu terlalu dekat dengan perempuan itu.” jawab Liza dengan suara yang tersedu-sedu. Ia tidak ingin terlihat lemah, tapi tak bisa juga mengabaikan perasaan itu.
Ramir yang sedang berusaha menenangkan hati seorang wanita yang sedang teriris dalam tangisan, memulai langkah dengan berkata jujur apa adanya, “Sayang, dia hanya teman kerja. Kamu satu-satunya orang yang berarti buatku. Ketika sekolahku selesai, aku akan membicarakan pernikahan kita kepada ayahmu. Tunggulah sebulan lagi sayang,”
Mendengar bahasa Ramir yang amat lembut, wanita itu terdiam, mencoba meresapi kalimat Ramil yang ia anggap hanya bualan semata, karena rasa cemburu yang ia sedang rasakan tak mudah untuk hilang begitu saja.
Sebulan berlalu, dengan kesabaran yang besar, Ramil terus meyakinkan kekasihnya akan kesetiaannya. Setiap ada masalah, Ramir memilih untuk bersikap sabar dan santai. Ia percaya bahwa wanita itu bisa berubah, sifat keras kepala dan cemburuannya bisa dilunakkan dengan cinta dan ketulusan.
Perlahan-lahan, Liza mulai menyadari sesuatu. Betapa besar kasih sayang Ramir untuknya, betapa tulus cinta yang ia terima dari pria yang kurang tampan itu. Rasa cemburunya mulai berkurang, dan ia belajar untuk lebih percaya.
Meskipun tak mudah, Liza berusaha lebih mendengarkan setiap nasihat Ramir. Ia mulai memahami bahwa sifat keras kepalanya selama ini hanyalah bentuk ketakutannya kehilangan orang yang ia cintai.
Hngga akhirnya, Ramir datang ke rumah Liza yang saat itu sedang di sinari rembulan musim kemarau untuk bercerita serius dengan ayah Liza. Pemuda itu berjanji untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Tibalah hari pernikahan mereka, Liza menangis haru, menyadari betapa besarnya pengorbanan Ramir selama ini. “Terima kasih sudah bersabar denganku,” bisiknya. Ramil hanya tersenyum, memeluk istrinya dengan penuh cinta. Pelukan itu bukan sekedar permintaan maaf, melainkan dermaga baru yang menanti kapal bernama kesabaran. Ramir tahu, badai boleh datang lagi, tapi hatinya sudah tahu cara berlabuh.
Dalam kisah ini, mereka menemukan bahwa cinta bukan hanya soal menerima, tetapi juga soal kesabaran dan kepercayaan yang dibangun bersama. Liza, yang dulu keras kepala dan sulit dinasihati, kini menjadi wanita yang lebih bijaksana, berkat kesabaran dan kasih sayang Ramir yang tak pernah luntur.***
Penulis: Wildan Hamza | Marunda, 11/11/2024
Sumber: Karangan Penulis
Ingin mendapatkan informasi sastra terbaru dari Rascita?
Silahkan ikuti Media Sosial kami dengan menekan Link di bawah ini 👇
Gabung dalam percakapan
Itu salah satu cara mendukung kami untuk tetap berkarya.
Ikuti sosial media kami ya, agar Anda dapat mengetahui tulisan terbaru dari kami