Cerpen: Ambisi yang Menghancurkan

#cerpenpolitik #jadigila #pemilu #pilkada


Pak Anwar berdiri di tengah kerumunan pasar, tersenyum lebar sambil menyapa para pedagang dan pembeli.

"Ingat, tanggal 17 nanti coblos nomor dua, ya! Bersama kita bangun masa depan!" serunya penuh semangat.

Sorak-sorai terdengar di mana-mana.

Pak Anwar, calon bupati yang dikenal murah senyum dan dermawan, seolah menjadi harapan baru bagi masyarakat.

Di rumahnya, poster-poster kampanye menempel di setiap sudut.
Istrinya, Bu Ratna, sibuk melayani tamu-tamu yang datang untuk memberi dukungan.

"Kita pasti menang, Pak," kata Bu Ratna suatu malam.

Pak Anwar hanya mengangguk sambil memandangi peta daerah pemilihannya. Dalam hati, ia sudah membayangkan dirinya duduk di kursi bupati dan membawa perubahan besar bagi daerahnya.

Namun, kenyataan tak seindah mimpi.
Seminggu menjelang hari pencoblosan, isu-isu miring mulai beredar. Media lokal menulis tentang dugaan korupsi yang tak pernah ia lakukan.

Spanduk dengan tulisan
"Jangan Pilih Anwar, Dia Pengkhianat!" muncul di sudut-sudut kota.

Para pendukungnya mulai mundur satu per satu, meninggalkan Pak Anwar dalam kebingungan.

"Ini pasti kerjaan lawan politikku!" teriaknya di ruang tamu, menghantam meja hingga teh di cangkir tumpah. "Mereka bermain kotor!"

Hari pencoblosan tiba. Sepanjang hari, Pak Anwar berkeliling TPS dengan wajah tegang.

Malamnya, ketika hasil suara mulai keluar, wajahnya pucat pasi. Ia kalah jauh dari kandidat yang bahkan tak ia anggap sebagai pesaing serius.

Kekalahannya begitu telak, seolah-olah masyarakat melupakan semua jasanya selama ini.

Hari-hari setelah kekalahan itu adalah awal kehancuran bagi Pak Anwar.

Ia mulai mengurung diri di kamar, menolak bertemu siapa pun.

"Semua orang mengkhianatiku. Bahkan kamu!" tuduhnya kepada Bu Ratna suatu malam, membuat istrinya hanya bisa menangis diam-diam.

Semakin lama, perilaku Pak Anwar semakin aneh. Ia berbicara sendiri, seolah berdialog dengan para pendukung imajinernya.

Ia sering mengenakan jas kampanyenya yang sudah lusuh, berjalan keluar rumah sambil berteriak, "Aku bupati kalian! Aku pemenang sejati!"

Puncaknya, suatu pagi, Pak Anwar ditemukan oleh warga di jalanan, berdiri di tengah keramaian dengan megafon usangnya.

Ia mengoceh tentang rencana pembangunan yang tak pernah terwujud, berjanji akan memberikan hidup yang lebih baik kepada siapa pun yang mendengarnya.

Mata masyarakat yang dulu penuh hormat kini hanya dipenuhi iba.

"Pak Anwar yang dulu, pemimpin yang kami banggakan... sudah tak ada lagi," bisik seorang warga kepada yang lain.

Pak Anwar, lelaki yang pernah memimpikan perubahan besar, kini menjadi bayangan dari ambisinya sendiri.

Oleh: Wildan Bolder       |      Marunda, 21/11/2024

Hai Sobat Bolder, Rascita berfokus pada cerita-cerita yang memiliki rasa penuh emosi tentang kehidupan, cinta, dan harapan melalui kata-kata. Website ini di persembahkan oleh Wildan Bolder Group