Cerpen: Seberkas Keberanian di Sore Hari
“Namanya siapa, ya?” berkata Fatir dalam hati, berusaha menyusun kalimat perkenalan dengan wanita itu, sembari merobek-robek kertas tisu yang terletak di mejanya. Dia bukanlah pria yang terbiasa berbicara dengan wanita. Bahkan ia tak tahu bagaimana harus memulai obrolan kecil tanpa merasa canggung. Ia tersenyum kecut sendiri, membayangkan apa yang mungkin dikatakan wanita itu kalau tahu dia ingin sekali berkenalan.
Namun, hari ini ada dorongan yang begitu kuat di dalam dirinya. Ia merasa harus melakukannya. Perlahan, ia menarik napas panjang dan berdiri. Setiap tarikan nafasnya, seolah menambah beban rasa gugup di dadanya. Fatir ragu sejenak. Namun, saat ia melihat wajah wanita itu yang tampak asyik membaca buku, ia tahu inilah waktunya.
"Hai," ucapnya yang membuat wanita itu mendongak, mengerutkan kening sejenak sebelum tersenyum kecil. "Saya... Saya sering melihat kamu di sini. Eh, maksud saya, kita sering satu kafe... Nama saya Fatir," sambung Fatir menyelesaikan kalimat pembukanya dengan suara yang terbata-bata. Telinga dan dada Fatir terasa mulai panas karena menunggu respon yang akan diberikan wanita itu. Wanita itu tersenyum lagi, kali ini dengan pandangan penuh minat ia menjawab "Oh, hai, Fatir. Nama aku, Yani." Jawaban itu terdengar lembut di telinga Fatir, yang membuat Fatir tersenyum kikuk, tak tahu harus berkata apa lagi.
Mereka berbicara sejenak, memulai percakapan sederhana tentang kegiatan sehari-hari. Namun, Fatir merasakan bahwa perasaannya lebih dari sekedar ingin mengenal. Ada ketertarikan yang tak bisa ia tolak, meski ia berusaha bersikap sopan dan menjaga jarak. Yani tampak memperhatikannya, seolah mencoba memahami orang asing yang tiba-tiba saja memberanikan diri berbicara dengannya. Setelah beberapa saat, ia memiringkan kepala dan tersenyum tipis. “Kamu cukup berani, ya,” ucapnya lembut, dengan nada menggoda yang membuat pria itu tersenyum. “Kalau kamu tahu betapa gugupnya diriku, kamu pasti akan menertawakanku," ucap Fatir sembari tertawa hangat. “Aku suka pria yang jujur. Kebanyakan pria berusaha terlalu keras untuk menjadi seseorang yang mereka pikir aku suka.” tutur Yani yang membuat Fatir tersenyum lebih hangat.
Obrolan mereka berlanjut sedikit demi sedikit, membahas impian, kesepian, dan perjalanan hidup masing-masing. Fatir akhirnya merasa nyaman, dan suasana di kafe itu berubah menjadi lebih intim, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Saat percakapan semakin dalam, Yani sesekali mendorong bahu Fatir, menyiratkan kehangatan dan kenyamanan.
Ketika malam mulai larut, Yani menatap Fatir dengan tatapan yang dalam, mengisyaratkan lebih dari sekadar rasa kagum biasa. Fatir merasakan debaran itu lagi, seakan-akan alam semesta sedang memberinya tanda. “Yani…” gumamnya pelan, seolah takut menghancurkan keheningan yang nyaman itu. Yani tersenyum sembari berucap, "Fatir, kamu tahu nggak? Kadang kita cuma butuh keberanian kecil, untuk membuka pintu menuju sesuatu yang besar. Dan mungkin, kita harus berani mencoba mengenal lebih dalam lagi." Dengan kata-kata itu, Yani meninggalkan Fatir dengan harapan dan ketertarikan yang bercampur di dadanya. Sebuah pertemuan sederhana yang mungkin bisa membawa mereka ke arah yang lebih dekat dan mendalam.
Saat Yani mengucapkan kata-kata terakhirnya, suasana seolah berhenti sejenak. Fatir hanya bisa tersenyum gugup, tenggelam dalam perasaan hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menatap Yani yang perlahan beranjak dari kursinya, mengucapkan perpisahan dengan senyum yang begitu tulus, “Kamu tahu di mana bisa menemuiku lagi.” kata Yani sambil melambaikan tangan sebelum melangkah keluar dari kafe.
Fatir memandangi punggung Yani yang semakin menjauh, hatinya dipenuhi harapan baru. Namun, begitu pintu kafe tertutup, tiba-tiba ia tersadar, ia belum sempat menanyakan kontak, nomor telepon, atau Instagram wanita itu. “Aduh, kenapa tadi nggak kepikiran buat nanya,” gumamnya pelan, merasa ada sedikit penyesalan bercampur geli dalam hati.
Fatir hanya bisa tersenyum sendiri, memandangi gelas teh yang telah ia minum habis. Walaupun rasanya tidak manis, setidaknya ia sudah merasakan malam yang manis. Tapi kali ini, ada tekad dalam hatinya. Ia tahu, kalau keberanian kecil bisa membawanya bertemu Yani sekali lagi, di kesempatan lain. Besok atau lusa, ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan kembali ke kafe ini dan berharap Yani akan kembali ke tempat yang sama.***
Gabung dalam percakapan
Itu salah satu cara mendukung kami untuk tetap berkarya.
Ikuti sosial media kami ya, agar Anda dapat mengetahui tulisan terbaru dari kami