Cerpen: Pelukan Pertama yang Tak Pernah Luntur

Di tengah keterbatasan, cinta seorang ayah terbukti tak pernah absen. Sebuah pelukan jadi bukti kasih yang tak tergantikan. Baca di Rascita.com
Alisa duduk di depan rumah. Langit senja menyinari rumah kecilnya. Angin sore berbisik lembut, namun pikirannya berkecamuk. Ia memandang jauh ke jalan raya, berharap ayahnya segera pulang.

Pak Rahmat, ayahnya, adalah seorang petani nilam yang bekerja keras setiap hari.
Setiap pagi, ia berangkat ke ladang dengan cangkul di tangan.
Alisa sering merasa bersalah karena tak bisa membantu banyak, tapi ayahnya selalu menenangkannya.
"Kau cukup belajar dan jadi anak yang baik, itu sudah lebih dari cukup," katanya.

Hari itu, Alisa mendapat penghargaan siswa berprestasi di sekolahnya, dan orang tua siswa diundang untuk menghadiri acara tersebut.

Ia ingin sekali ayahnya datang, tapi teringat bahwa ayahnya jarang hadir di acara sekolah. Bukan karena tak peduli, tapi karena waktu dan biaya sering menjadi hambatan.

Ketika ayahnya tiba di rumah, ia melihat Alisa duduk merenung.

"Ada apa, Lis? Wajahmu murung sekali," tanyanya sambil menaruh cangkulnya di sudut rumah.

Alisa ragu-ragu, tapi akhirnya menunjukkan surat itu.

"Ayah, aku... aku dapat penghargaan. Aku tahu ini sulit... tapi bisakah Ayah datang sekali saja? Aku ingin Ayah melihatku di sana. Ayah mau datang, kan?" tanyanya dengan nada berharap.

Ayahnya tersenyum, tapi ada keraguan di matanya.

"Tentu, Ayah akan datang," jawabnya pelan.

Namun, Alisa tahu, janji itu mungkin sulit terpenuhi.


Suasana aula sekolah/Sumber: Koleksi Penulis

Hari penghargaan pun tiba. Sorak-sorai tepuk tangan terdengar menggema di aula.
Lampu gantung berkilauan di atas panggung tempat Alisa berdiri menerima piagam dengan hati yang terasa sepi tanpa kehadiran Ayah.

Pandangan Alisa menyapu barisan kursi hadirin, mencari sosok ayahnya di antara para orang tua yang tersenyum bangga.

Namun, kursi itu tetap kosong.
Hatinya mencelos, tapi ia berusaha tersenyum.

Namun, saat ia turun dari panggung, sosok itu muncul di pintu aula.
Pak Rahmat berdiri di sana, mengenakan pakaian terbaiknya, dengan wajah yang lelah tapi penuh kebanggaan. Ia bahkan membawa setangkai bunga liar yang diikat dengan tali akar.

Pak Rahmat memandang Alisa dengan mata yang berkaca-kaca, penuh kebanggaan yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata.
"Maaf, Ayah terlambat," katanya sambil tersenyum.

Alisa berlari menghampiri ayahnya, air mata membasahi pipinya.
"Ayah datang... Itu lebih dari cukup," katanya sambil memeluk erat sosok yang selalu menjadi cinta pertamanya.

Saat memeluk ayahnya,
Alisa tahu, meski Ayah tak selalu hadir di setiap langkahnya, cintanya tak pernah absen.
Itu adalah pelukan pertama yang akan ia kenang selamanya.

Para hadirin yang menyaksikan momen haru itu pun sontak berdiri dan bertepuk tangan karena merasakan momen bahagia ayah dan anak tersebut.

Momen itu akan terus Alisa ingat sebagai hari di mana cinta seorang ayah terasa lebih nyata daripada apapun.***



Penulis: Wildan Hamza    |    Raha, 25/12/2024
Sumber:  Karangan Penulis




Ingin mendapatkan informasi terbaru seputar cerpen karya Wildan Bolder?
Silahkan ikuti saluran Whatsapp kami dengan menekan link di bawah ini 👇


Hai Sobat Bolder, Rascita berfokus pada cerita-cerita yang memiliki rasa penuh emosi tentang kehidupan, cinta, dan harapan melalui kata-kata. Website ini di persembahkan oleh Wildan Bolder Group