Cerpen: Misteri Barang Hilang di Toko 24 Jam
“Kalau terus begini, habis sudah gaji kita. Setiap bulan pasti ada saja barang yang hilang, dan kita yang harus menanggungnya,” keluh Wawan, salah satu rekan kerjanya. Ardi hanya bisa mengangguk. Ia mulai merasa ada yang tidak beres dengan kejadian-kejadian tersebut. Wawan bercerita tentang bagaimana beberapa karyawan senior memilih untuk berhenti karena selalu merasa dirugikan tanpa penjelasan yang jelas.
Besoknya, “Bagaimana kamu Ardi? Harusnya kamu lebih teliti. Ini semua salahmu,” ujar Pak Anton dengan nada tinggi, seolah semuanya adalah kesalahan Ardi. Ardi merasa frustasi, setiap kali ada barang yang hilang, karyawan lah yang selalu dipersalahkan, dan gaji mereka dipotong untuk menutupi kerugian tersebut. Namun, kali ini Ardi merasa ada yang lebih dari sekadar kebetulan. Mengapa kepala toko tidak pernah terlihat khawatir atau terkejut saat barang hilang? Bahkan, ia seolah tidak peduli dengan semua itu.
Dengan perasaan tak tenang, Ardi mulai mencari cara untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di toko itu. Ia memutuskan untuk bekerja sama dengan Wati, teman kerja yang cerdas dan memiliki ketajaman observasi luar biasa. Wanita itu mengusulkan untuk memeriksa rekaman CCTV toko. Setelah beberapa hari memeriksa, mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan. Pak Anton sering terlihat keluar dari gudang di malam hari, setelah toko tutup. Ardi merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Apa yang sedang dilakukan kepala toko dengan barang-barang tersebut setelah jam operasional selesai?
“Semuanya tercatat rapi di sistem, tapi barangnya hilang,” kata Wati sambil menatap layar komputer. “Kenapa kamu tidak curiga, Ardi? Ini bukan kebetulan,” tegasnya. Ardi mulai merasa ada yang lebih besar yang sedang dimainkan oleh Pak Anton. Ia memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh. Bersama Wati, mereka menyusuri lorong-lorong yang jarang dilalui karyawan. Mereka menemukan ruangan kecil yang tak banyak orang tahu, dengan sebuah pintu belakang yang jarang digunakan.
Dengan hati-hati, mereka memeriksa laporan keuangan dan catatan stok. Yang mereka temukan lebih mengejutkan dari yang mereka bayangkan. Ternyata, kepala toko telah menggelapkan uang ganti rugi yang seharusnya dibayar oleh karyawan untuk mengganti barang yang hilang. Pak Anton dengan licik memanipulasi laporan, mencatatkan barang hilang yang seharusnya tidak ada, dan mengalihkan uang ganti rugi ke rekening pribadinya.
“Jadi selama ini kita yang jadi kambing hitam? Dan dia menikmati hasil dari semua ini?” Ardi bertanya dengan suara bergetar, marah dan kecewa. Wati menatap Ardi dengan serius. “Ini lebih dari sekadar kebetulan. Ini adalah kejahatan yang harus dihentikan.”
Dengan bukti-bukti yang telah mereka kumpulkan, Ardi dan Wati memutuskan untuk melaporkan Pak Anton ke manajemen pusat. Beberapa hari kemudian, kepala toko itu dipanggil untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Manajemen yang awalnya tidak percaya akhirnya terkejut saat melihat bukti-bukti yang ada. Pak Anton akhirnya mengakui perbuatannya dan dipecat dari toko itu. Ardi dan kawan-kawan merasa lega, namun juga kecewa. Mereka tahu, meskipun kepala toko sudah dihukum, sistem yang ada masih membuka celah bagi ketidakadilan yang lebih besar.
“Ini bukan hanya tentang dia, Ardi. Ini tentang sistem yang lebih besar, yang harusnya lebih peduli pada karyawan, bukan hanya mencari kambing hitam,” kata Wati, dengan nada serius. Ardi menatap kosong ke arah toko yang kini terasa berbeda. Meski keadilan telah ditegakkan, ia tahu bahwa perubahan sejati harus dimulai dari dalam diri mereka sendiri. Tidak ada lagi yang bisa mengandalkan keadilan jika sistem yang ada tidak berubah.
Setelah kejadian itu, para karyawan tidak sepenuhnya puas. Kepala toko yang selama ini terlihat tak terkalahkan akhirnya tumbang, namun Ardi tahu, ini bukan akhir dari masalah. Ia menatap toko yang kini terasa semakin sunyi. Sistem yang ada di minimarket itu, yang lebih memilih memanfaatkan karyawan untuk menutupi kebobrokan, tetap berjalan tanpa hambatan. Pak Anton diganti oleh orang lain, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa hal serupa tidak akan terulang?
Ardi menyadari, selama sistem yang lebih tinggi tidak peduli dengan kesejahteraan karyawan, kejadian ini hanya akan menjadi lingkaran tak berujung. Toko yang dianggap sebagai tempat kerja, yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi mereka, malah menjadi mesin pencari keuntungan tanpa rasa adil. Sementara itu, mereka yang berada di bawah selalu dipaksa untuk menanggung kesalahan yang bukan milik mereka.
“Kadang-kadang, yang paling sulit diubah bukanlah orangnya, tapi sistem yang mengakar. Kalau sistemnya tetap seperti ini, yang berganti hanya wajahnya, tapi kebijakan tetap sama. Yang jelas, yang kena selalu kami. Mereka yang di atas, tak pernah merasa bersalah,” gumam Ardi, menatap layar komputer yang menampilkan laporan baru.
Sindiran itu terselip dalam setiap kata yang Ardi ucapkan. Jika hanya sedikit saja keadilan yang bisa mereka raih, itu hanya karena keberanian mereka untuk menentang ketidakadilan yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh subur. Ardi tahu, mereka mungkin telah mengalahkan satu orang, tapi mereka belum mengalahkan sistem yang rapuh ini. Dan selama itu tidak berubah, cerita ini hanya akan menjadi satu dari banyak kisah tak terungkap lainnya. Cerita tentang karyawan yang kehilangan lebih dari sekadar barang, melainkan kehilangan hak mereka.***
1 komentar
Itu salah satu cara mendukung kami untuk tetap berkarya.
Ikuti sosial media kami ya, agar Anda dapat mengetahui tulisan terbaru dari kami